Resiko Rusaknya Organ Panggul Pasca Melahirkan
Bagi perempuan, melahirkan merupakan pengalaman membahagiakan, namun
sekaligus penuh resiko. Dalam proses persalinan banyak hal yang bisa
terjadi, mulai dari ancaman kecacatan pasca melahirkan hingga kehilangan
nyawa.
Di antara resiko yang dihadapi adalah menderita kerusakan atau gangguan
fungsi dasar panggul akibat dari penggunaan alat bantu melahirkan,
maupun lamanya proses persalinan, dsb. Disfungsi tersebut meliputi
prolaps organ panggul (POP), inkontinensia urin atau tidak dapat menahan
buang air kecil, inkontinensia alvi (cepirit), serta disfungsi seksual.
Sebanyak 50% perempuan yang telah melahirkan memiliki resiko mengalami
prolaps organ panggul. Prolaps merupakan turunnya atau keluarnya dinding
vagina disertai organ pelvik lain ke luar liang vagina. Data Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, menyebutkan setiap tahunnya
terdapat 47 hingga 67 kasus operasi prolaps dasar panggul. Kasus
penderita prolaps sendiri diperkirakan meningkat seiring usia harapan
hidup wanita yang juga meningkat.
Prolaps organ panggul memang tidak menyebabkan kematian, jika dibanding
kasus preklampsia atau tekanan darah tinggi dalam persalinan. Namun POP
menyebabkan cacat permanen yang akan menggangu aktiftas sehari-hari jika
dibiarkan tidak tertangani. Selain itu POP juga dapat mempengaruhi
kondisi psikologis perempuan, di mana ia tidak percaya diri di hadapan
suami yang dapat berdampak lebih jauh pada keharmonisan rumah tangga.
Faktor Pemicu Prolaps
Pemicu POP diantaranya adalah lemahnya jaringan otot di dasar panggul
yang menyokong organ-organ di sekitarnya. Dalam proses persalinan,
tekanan yang kuat saat mengejan bisa menyebabkan dinding rahim keluar
melalui liang vagina dan disebut prolaps.
Proses persalinan yang cukup lama, ukuran bayi yang dilahirkan cukup
besar, maupun frekwensi atau seringnya melahirkan juga menjadi pemicu
POP. Selain itu, kelainan genetik pada jaringan dan struktur panggul
juga bisa memicu POP bahkan pada perempuan yang belum melahirkan. Faktor
lain seperti rokok dan alkohol, serta seringnya melakukan pekerjaan
mengangkat benda berat, dapat menambah resiko terkena POP.
Kepala Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSCM dr. Budi Iman
Santoso, Sp. OG (K) mengutarakan bahwa persalinan normal melalui vagina
memang lebih aman jika dibandingkan dengan persalinan secara caecar yang
memiliki resiko kematian lima kali lebih tinggi. Namun, persalinan
normal dapat menyebabkan wanita menderita kecacatan dasar panggul atau
prolaps organ panggul.
Hal tersebut terjadi karena terjadi robekan dalam proses persalinan,
penggunaan alat bantu saat melahirkan, serta lamanya proses persalinan.
“Walaupun tidak menyebabkan kematian, tetapi prolaps menyebabkan
kecacatan permanen jika tidak ditangani dan akan menurunkan kualitas
hidup wanita,” tutur dr. Budi.
POP umumnya terjadi pada perempuan berusia 50 tahun ke atas, hal
tersebut dikarenakan bagian yang menyangga vagina mulai melemah. Pada
perempuan di bawah usia 35 tahun, risiko menderita POP pada persalinan
anak pertama adalah 25% atau 1 banding 4. Sedangkan pada mereka yang
berusia di atas 35 tahun risikonya lebih besar, yaitu 50%.
Sementara, Guru Besar Obsetri Ginekologi FKUI Prof. dr. Junizaf, Sp. OG
(K) mengutarakan POP paling banyak terjadi setelah kelahiran anak
pertama. POP dapat terjadi mulai dari tingkat yang ringan sampai berat.
Pada stadium 1, organ yang turun belum melewati vagina. Stadium 2, organ
yang turun sudah mencapai selaput dara. Pada stadium 1 dan 2, POP
cenderung jarang atau belum menimbulkan keluhan. Keluhan ringan seperti
rasa nyeri dan inkontinensi dapat saja sudah dirasakan, namun seringkali
diabaikan dan dianggap sebagai resiko yang wajar dari proses
persalinan. Sementara pada stadium 3, organ yang turun telah berada di
mulut vagina. Kemudian pada stadium 4, organ dalam panggul telah
benar-benar menonjol keluar.
“Kecacatan ini tidak hanya menurunkan kualitas hidup para ibu, tetapi
juga berdampak pada pasangannya. Hal ini juga menimbulkan beban biaya
kesehatan yang cukup tinggi. Kasus kecacatan dasar panggul meningkat
sejalan dengan meningkatnya usia harapan hidup wanita Indonesia,” terang
Prof. Junizaf lebih lanjut.
Wanita yang mengalami prolaps biasanya mengeluhkan beberapa gejala. Di
antaranya adalah munculny tonjolan, tekanan atau sensai berat pada
vagina saat buang air besar. Merasa seperti sedang menduduki bola atau
vagina terasa berat, kesulitan saat buang air besar. Kesulitan dalam
buang air kecil, sehingga harus mengangkat rahimnya yang menonjol atau
keluar terlebih dulu. Gejala lain adalah pendarahan, mengalami kesulitan
ketika berjalan, serta gangguan bersenggama.
Teknologi Mesh untuk Penanganan Prolaps
Indikator kesehatan wanita kini tidak lagi terbatas pada penurunan angka
kematian ibu dan bayi, tetapi juga mencakup peningkatan kualitas hidup
wanita seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup. Namun, masih
kurang disadari bahwa persalinan, bahkan yang tanpa komplikasi sekalipun
dapat mempengaruhi kualitas hidup para ibu.
Studi yang dilakukan American Medical System (AMS) mengemukakan 1 dari 3
wanita di Amerika yang berusia di atas 45 tahun mengalami masalah
inkontinensi. Kemudian, dalam suatu studi tentang kualitas hidup
ditemukan bahwa lebih dari 40% perempuan mengalami masalah inkontinensia
yang menggangu aktifitas sehari-hari, terutama bagi wanita yang masih
bekerja.
Prolaps organ panggul membutuhkan penangan khusus berdasarkan tingkat
keparahannya. Namun saat ini sudah ada teknologi terkini di bidang
uroginekologi dengan penggunaan Mesh, yaitu alat berupa sling kawat yang
dipasang di panggul.
Pada pembedahan yang inovatif ini, selain melakukan perbaikan anatomi
otot atau ligament penyangga uterus, juga ditambahkan dengan
polypropylene Mesh (xenogrant) yang berperan untuk menyangga organ di
dalam panggul.
Dr. Budi Imam Santoso, SpOG(K) mengatakan, POP stadium 1-2 masih bisa
diatasi dengan tindakan konvensional misalnya pemasangan Mesh melalui
bedah ringan untuk menahan organ-organ dalam panggul agar tidak turun.
Masa pemulihan dengan pemasangan Mesh ini pun diketahui jauh lebih cepat
dibandingkan dengan operasi konvensional.
Namun, jika sudah masuk stadium 3-4, satu-satunya tindakan yang bisa
dilakukan adalah operasi. Jenis operasinya bermacam-macam tergantung
kondisi dan tingkat keparahan, namun intinya mengembalikan organ-organ
itu ke posisi semula dan memperkuat jaringan dasar panggul.
Dr. Vincent D. Wijaya dari PT. Urogen Advance Solution menutarakan
dengan adanya kemajuan dalam bidang uriginekologi, di mana penggunaan
mesh dalam menangani permasalahan inkontinensia dimana penggunaan mesh
dalam menangani permasalahan inkontinensia dapat memberikan solusi yang
lebih baik dan dapat meningkatkan kualitas hidup seorang perempuan.
Prof. Yunizaf mengungkapkan, upaya pencegahan POP dapat dilakukan dengan
membatasi jumlah persalinan atau mengindari seringnya hamil dan
melahirkan. “Karena seringnya persalinan dapat berakibat pada melemahnya
otot sendi penyokong alat reproduksi wanita,” tuturnya.
Kelamahan otot-otot penyokong dasar panggul juga bisa dipicu beberapa
faktor lain, seperti usia, obesitas, maupun kelainan bawaan . Pada
perempuan muda yang sehat, lemahnya otot panggul bisa disebabkan oleh
cacat bawaan dan bisa memicu prolaps pada kelahiran anak pertama.
Perempuan tersebut 2 kali lebih berisiko untuk mengalami prolaps stadium
2 atau lebih berat dibandingkan perempuan yang otot panggulnya normal.
Untuk mendeteksi adanya kelainan pada otot panggul, dapat menggunakan
pencitraan Ultrasonografi (USG) baik 3D maupun 4D. Teknologi yang sering
dipakai oleh ibu hamil ini mampu mendeteksi kelainan yang berisiko
memicu POP.
USG juga dapat membantu para ibu hamil untuk menentukan proses
persalinan. Perempuan yang tramati memiliki kelainan otot panggul pada
hasil USG, memiliki resiko dua kali lebih tinggi dibanding perempuan
lainnya. Untuk mencegahnya, persalinan bisa dilakukan melalui caesar.
(ris)
Text
pergeseran dasar organ panggul
Langganan:
Postingan (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar